hoax atau berita bohong mungkin diantara kita pernah menerima, membaca, menyebarkan, atau bahkan membuatnya, apalagi di era digital seperti sekarang ini kita dengan mudahnya menjumpai hoax yang tersebar di internet dan media sosial.
Hoax adalah informasi palsu, berita bohong, atau fakta yang diplintir atau direkayasa untuk tujuan lelucon hingga serius (politis).
Secara bahasa hoax (synonyms: practical joke, joke, jest, prank, trick) adalah lelucon, cerita bohong, kenakalan, olokan, membohongi, menipu, mempermainkan, memperdaya, dan memperdayakan.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), hoax diterjemahkan menjadi hoaks yang diartikan dengan “berita bohong”.
Dalam Kamus Jurnalistik, hoax diartikan Berita Bohong (Libel) sebagai berita yang tidak benar sehingga menjurus pada kasus pencemaran nama baik.
Istilah lain berita bohong dalam konteks jurnalistik adalah Berita Buatan atau Berita Palsu (Fabricated News/Fake News).
Hampir sama dengan berita bohong, berita buatan adalah pemberitaan yang tidak berdasarkan kenyataan atau kebenaran (nonfactual) untuk maksud tertentu.
Secara harafiah, hoax sendiri memiliki pengertian dimana berita yang tidak benar dibuat seolah-olah menjadi berita benar sehingga dapat menggiring opini publik untuk seolah-olah mempersepsikan bahwa hoax tersebut adalah benar adanya.
Hoax umumnya bertujuan untuk “having fun” atau humor. Namun, hoax juga bisa dijadikan alat propaganda dengan tujuan politis, misalnya melakukan pencitraan atau sebaliknya, memburukan citra seseorang atau kelompok.
Dewan Pers sampai melakukan sertifikasi media guna memerangi hoax. Padahal, menurut survei, hoax lebih banyak muncul dan tersebar di media sosial.
Media sosial memungkinan semua orang menjadi publisher atau penyebar berita, bahkan “berita” yang dibuatnya sendiri, termasuk berita palsu atau hoax.
Di dalam undang-undang ITE sendiri, hoax sudah diatur dalam pasal 28(1) Undang-Undang nomer 11 tahun 2008 tentang ITE.
Pasal 28(1) Undang-Undang nomer 11 tahun 2008 tentang ITE berbunyi" Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik". Dalam Pasal 28(1), ini kata"bohong" dan "menyesatkan" memiliki arti yang berbeda, dimana pengertian "bohong" merupakan suatu perbuatan dimana informasi yang disebarkan baik berupa berita ataupun informasi lain adalah informasi yang tidak benar adanya, Sementara kata "Menyesatkan"adalah merupakan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan meyebarkan berita bohong tersebut.
Untuk menerapkan pasal 28(1) UU ITE ini, seluruh unsur yang tercantum dalam pasal tersebut haruslah terpenuhi yang mana:
Setiap orang: setiap orang ini memiliki makna siapa saja yang menyerbarkan berita hoax tersebut
Dengan sengaja dan tanpa hak :Berkenaan dengan unsur ini, penulis mengutip pendapat Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Danrivanto Budhijanto,S.H,L.LM, perlu untuk dicermati bahwa "Dengan sengaja" ini apakah ada niat jahat dalam melakukan perbuatan tersebut atau tidak dan juga perlu dicermati apakah penyebar punya hak atau tidak.
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan :Seperti yang sudah dijelaskan diatas, pemahaman kata "bohong" dan "menyesatkan" adalah berbeda dalam perspektif hukum. Maka perlu dicermati apakah informasi yang disebarkan tersebut menganung unsur kebohongan yang mana berita tersebut mengandung unsur ketidakbenaran yang mana membuat orang lain/publik berperspektif salah terhadap suatu informasi. Jika unsur ini terpenuhi, maka pelaku perlu untuk dipidana
yang mengakitbatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik : Untuk memenuhi unsur ini, perlu dicermati bahwa apakah informasi tersebut menyebabkan kerugian kepada konsumen yang dalam hal ini bisa juga bisa berati individual tertentu,kelompok tertentu, ataupun perusahaan tertentu.
Unsur dalam pasal 28(1) UU ITE ini menggunakan sistem kumulative yang ditandai dengan penggunaan kata "dan". Sistem kumulative ini adalah dimana semua unsur-unsur tersebut harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum pasal ini bisa diterapkan.
Jika melanggar ketentuan Pasal 28 UU ITE ini dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016 , yaitu:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”. Tetapi, jika dicermati lagi UU ITE dan perubahannya khushs mengatur mengenai hoax (berita bohong) yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik (sosial media) yang bukan bertujuan untuk menyesatkan konsumen, dapat dipidana menurut UU ITE tergantung dari muatan konten yang disebarkan seperti:
- Jika berita bohong bermuatan kesusilaan maka dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE;
- Jika bermuatan perjudian maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU ITE;
- Jika bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE ;
- Jika bermuatan pemerasan dan/atau pengancaman dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (4) UU ITE;
- Jika bermuatan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA dipidana berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE;
- Jika bermuatan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dipidana berdasarkan Pasal 29 UU ITE.
Kedua, Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) juga mengatur hal yang serupa walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut:
- Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
Ketiga, Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (“UU 1/1946”) juga mengatur mengenai berita bohong yakni:
- Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
- Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun
Pasal 15 UU 1/1946
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun
Jadi, hoax atau menyebarkan berita bohong adalah sebuah tindak pidana. Ada beberapa aturan yang mengatur mengenai hal ini yaitu: UU ITE dan perubahannya, KUHP serta UU 1/1946. UU ITE bukanlah satu-satunya dasar hukum yang dapat dipakai untuk menjerat orang yang menyebarkan hoax atau berita bohong ini karena UU ITE hanya mengatur penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik saja.
Berita palsu atau hoax yang sering beredar di dunia maya bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Kisah tentang hoax ini sudah terjadi sejak masa Nabi Adam AS. Ketika itu, Nabi Adam mendapat kabar bohong dari iblis yang berakibat ia terusir dari surga. Hingga sekarang hoax semakin mewabah.
Di tengah perkembangan teknologi saat ini, semua orang mempunyai akses terhadap ponsel dan komputer, beragam informasi semakin riuh sesak mewarnai media sosial. Bukan saja dari media, perputaran informasi justru semakin deras di tangan pengguna internet, mulai dari orang dewasa sampai anak-anak. Bahkan sebesar 25 persen anak-anak mengaku percaya dengan informasi yang mereka dapat dari media sosial. Apalagi media sosial menempati peringkat tertinggi sebagai tempat mencari sumber berita preferensi remaja dan anak-anak.
Berita hoaks juga menjadi penyebab lahirnya fitnah yang cukup besar bagi kalangan umat Islam setelah Rasulullah wafat, yaitu terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Fitnah ini terus melebar hingga terjadi perang jamal dan perang shiffin yang terjadi antara sahabat-sahabat Rasulullah, yang kemudian menjadi cikal bakal timbulnya kelompok besar dalam Islam.
Di era modern, kita masih ingat tentang salah satu peristiwa besar invansi Amerika kepada Negara Irak. Seluruh dunia menyaksikan bagaimana luluh lantaknya sebuah negara berawal dari berita hoaks yang tidak bisa dibuktikan sampai hari ini.
Awal mula hoax pada media sosial bisa ditelusuri bahkan sebelum 1600-an. Kebanyakan informasi pada era tersebut disebarkan tanpa komentar. Pembaca bebas menentukan validitas informasi berdasarkan pemahaman, kepercayaan/agama, maupun penemuan ilmiah terbaru saat itu.
Kebanyakan hoax pada era tersebut terbentuk karena spekulasi. Misalnya saja, saat Benjamin Franklin pada 17 Oktober 1745 via Pennsylvania Gazettemelansir tentang batuan China yang bisa digunakan untuk mengobati rabies, kanker, dan penyakit mematikan lain.
Bagaimanapun, verifikasi informasi itu hanya didasari oleh testimoni personal. Satu pekan kemudian, sebuah surat klarifikasi di Gazette mengklaim bahwa batuan tersebut ternyata terbuat dari tanduk rusa dan tidak memiliki kemampuan medis apapun.
Pada 1726, penulis Jonathan Swift menggunakan strategi hoax untuk menerbitkan cerita berjudul Travels Into Several Remote Nations of the World. Sebelumnya, pada 1708, dia juga menggunakan hoax tidak berbahaya berisi prediksi astrologi pada 1 April, yang kini dikenal sebagaiApril Fools’ Day.
Pada 1835, penulis Edgar Allan Poe menerbitkan cerita hoax terkenal; The Unparalled Adventure of One Hans Pfaall tentang pria yang pergi ke bulan menggunakan balon udara dan tinggal di sana selama 5 tahun.
Permulaan Abad XIX
Perkembangan hoax semakin pesat pada pertengahan pertama abad XIX. Seiring dengan itu, jumlah komunitas sains semakin melesat di Amerika Serikat, dan banyak dari mereka yang menerbitkan penemuan hoax yang menggemparkan.
Salah satu hoax yang paling menggemparkan saat itu adalah The Great Moon Hoax yang dilansir pada 1835 di The Sun, New York. ReporterThe Sun menduga bahwa peneliti John Herschel menemukan manusia bersayap setinggi 4 kaki di bulan.
Cerita tersebut lama-kelamaan dipercaya publik sebagai sebuah kebenaran. Apalagi, John adalah putra dari peneliti penemu planet Uranus, William Herschel. Setelah hoax itu terbongkar, publik menuntut pemilikThe Sun, Benjamin Day.
Pada 1860-an, P.T. Barnum membuathoax berjudul What Is It?, yang diklaim menjawab misteri teori Charles Darwin tentang evolusi primata menjadi manusia. Ironisnya, hoax tersebut digunakan sebagai senjata politik saat era pemilihan presiden Abraham Lincoln.
Pada 1869, muncul berita hoax yang paling menggemparkan sepanjang sejarah media cetak, yaitu penampakan manusia raksasa setinggi 10 kaki (Cardiff Giant) di New York. Rupanya, raksasa tersebut adalah buatan ahli tembakau George Hull.
Pada 1874, James Gordon Bennett Jr. Membuat cerita hoax di New York Herald tentang binatang buas yang kabur dari kebun binatang dan membunuh 49 orang. Akibat hoaxtersebut, terjadi kekacauan dan kepanikan publik yang hebat.
Abad XX dan Seterusnya
Pada abad ke-XX, berita hoax lebih banyak disebarkan melalui jalur siaran ketimbang media cetak. Hal itu terjadi seiring dengan perkembangan media massa, yang mengharuskan penayangan berita secepat mungkin. Akibatnya, banyak media massa yang tidak mengklarifikasi informasi terlebih dahulu sebelum menyebarluaskannya.
Salah satu hoax yang paling terkenal pada abad XX adalah siaran stasiun televisi ABC dan USA Today yang mengklaim bahwa Rusia berencana menjual jenasah Vladimir Lenin untuk mendongkrak penerimaan negara.
Hoax masa kini diklaim lebih menakutkan karena bisa dibuat dengan sangat mudah dan cepat melalui Internet. Pada era digital, jumlah hoax (baik yang disengaja maupun tidak) di bidang politik, sains, ekonomi, sosial, maupun hiburan sudah tidak dapat dihitung.
Menurut Dewan Pers, ciri-ciri hoax adalah sebagai berikut:
Ciri utama hoax adalah tanpa sumber. Penyebar hoax biasanya menuliskan: “copas dari grup sebelah” atau “kiriman teman”.
Menurut pengamat media sosial dari Forum Keamanan Informasi, Liza Darmawan Lumy, ada 7 ciri hoaks di media sosial;
1. Tidak Lengkap & Tanpa Link
Ciri hoax di media sosial yang pertama adalah informasi hanya sepotong, namun menonjolkan daya tarik bagi siapa pun yang sekilas membaca atau melihatnya.
Tidak ada keterangan waktu, nama pembuat atau kontak, tidak ada info tautan yang terpercaya. Kalaupun ada tautan (link), umumnya menyaru dengan menggunakan nama terkenal, seperti tokoh atau merek yang banyak orang kenal atau pakai.
Contoh: You can now activate the new multicolor Whatsapp! Click here to activate! http://g*2l.ink/1eop.
2. Tautan Palsu & Aneh
Ciri hoax di media sosial yang kedua adalah ada tautan palsu atau link yang aneh. Biasanya, ada di alamat URL maupun di konten website yang dituju yang dibuat serupa tapi tak sama dengan yang asli.
Masyarakat diimbau tidak mengeklik sama sekali link itu karena kerap bisa menjadi “triger” browser yang sudah disusupi malware.
3. Bahasa & Gambar
Ciri ketiga, hoaks biasanya dibuat dengan bahasa dan gambar sederhana agar mudah menyebar lewat media-media sosial, group chat, dan lain-lain.
Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di kalangan masyarakat dan menghebohkan sehingga membuatnya sangat mudah memancing orang untuk membagikannya (share).
4. Data Palsu
Agar lebih meyakinkan, hoax sering dilengkapi dengan data statistik dan angka palsu, nama dan alamat palsu, tautan yang juga palsu.
5. Logika Tak Serasi
Ciri kelima, hoax biasanya ditunjukkan dengan logika yang tidak serasi misalnya ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten atau tidak terkait antara satu dengan yang lainnya.
6. Konten Umum
Konten yang paling sering dibuat hoaks biasanya terkait dengan golongan banyak orang, khalayak banyak, masalah yang umumnya semua orang punya, supaya cukup sekali menyebar akan terus mudah bergulir.
Konten-konten tersebut seperti kesehatan, agama, politik, bencana alam, lowongan pekerjaan, penipuan berhadiah, peristiwa ajaib, juga bisa pakai sebutan umum yang banyak dipakai seperti ‘mama minta pulsa’ atau ‘bapak kirim paket’.
7. Kalimat Persuasif
Umumnya hoaks ditambahkan dengan kalimat persuasif untuk melakukan satu tindakan sederhana.
Contohnya: ‘sebarkan minimal ke 7 orang, Anda akan bahagia!’; ‘Bagikan info ini ke 10 orang lalu lihat mukjizat apa yang terjadi!; ‘Buka tautan link berikut untuk mendapatkan hadiah Anda; https://nggak.janji.com atau misalnya ‘Viralkan, Anda akan masuk sorga!”
Liza menyarankan untuk menangkal hoaks secara sederhana dapat dilakukan dengan tiga langkah:
- Mengakibatkan kecemasan, kebencian, dan permusuhan.
- Sumber berita tidak jelas. Hoax di media sosial biasanya pemberitaan media yang tidak terverifikasi, tidak berimbang, dan cenderung menyudutkan pihak tertentu.
- Bermuatan fanatisme atas nama ideologi, judul, dan pengantarnya provokatif, memberikan penghukuman serta menyembunyikan fakta dan data.
- Ciri khas lain hoax adalah adanya HURUF KAPITAL, huruf tebal (bold), banyak tanda seru, dan tanpa menyebutkan sumber informasi.
Ciri utama hoax adalah tanpa sumber. Penyebar hoax biasanya menuliskan: “copas dari grup sebelah” atau “kiriman teman”.
Menurut pengamat media sosial dari Forum Keamanan Informasi, Liza Darmawan Lumy, ada 7 ciri hoaks di media sosial;
1. Tidak Lengkap & Tanpa Link
Ciri hoax di media sosial yang pertama adalah informasi hanya sepotong, namun menonjolkan daya tarik bagi siapa pun yang sekilas membaca atau melihatnya.
Tidak ada keterangan waktu, nama pembuat atau kontak, tidak ada info tautan yang terpercaya. Kalaupun ada tautan (link), umumnya menyaru dengan menggunakan nama terkenal, seperti tokoh atau merek yang banyak orang kenal atau pakai.
Contoh: You can now activate the new multicolor Whatsapp! Click here to activate! http://g*2l.ink/1eop.
2. Tautan Palsu & Aneh
Ciri hoax di media sosial yang kedua adalah ada tautan palsu atau link yang aneh. Biasanya, ada di alamat URL maupun di konten website yang dituju yang dibuat serupa tapi tak sama dengan yang asli.
Masyarakat diimbau tidak mengeklik sama sekali link itu karena kerap bisa menjadi “triger” browser yang sudah disusupi malware.
3. Bahasa & Gambar
Ciri ketiga, hoaks biasanya dibuat dengan bahasa dan gambar sederhana agar mudah menyebar lewat media-media sosial, group chat, dan lain-lain.
Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di kalangan masyarakat dan menghebohkan sehingga membuatnya sangat mudah memancing orang untuk membagikannya (share).
4. Data Palsu
Agar lebih meyakinkan, hoax sering dilengkapi dengan data statistik dan angka palsu, nama dan alamat palsu, tautan yang juga palsu.
5. Logika Tak Serasi
Ciri kelima, hoax biasanya ditunjukkan dengan logika yang tidak serasi misalnya ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten atau tidak terkait antara satu dengan yang lainnya.
6. Konten Umum
Konten yang paling sering dibuat hoaks biasanya terkait dengan golongan banyak orang, khalayak banyak, masalah yang umumnya semua orang punya, supaya cukup sekali menyebar akan terus mudah bergulir.
Konten-konten tersebut seperti kesehatan, agama, politik, bencana alam, lowongan pekerjaan, penipuan berhadiah, peristiwa ajaib, juga bisa pakai sebutan umum yang banyak dipakai seperti ‘mama minta pulsa’ atau ‘bapak kirim paket’.
7. Kalimat Persuasif
Umumnya hoaks ditambahkan dengan kalimat persuasif untuk melakukan satu tindakan sederhana.
Contohnya: ‘sebarkan minimal ke 7 orang, Anda akan bahagia!’; ‘Bagikan info ini ke 10 orang lalu lihat mukjizat apa yang terjadi!; ‘Buka tautan link berikut untuk mendapatkan hadiah Anda; https://nggak.janji.com atau misalnya ‘Viralkan, Anda akan masuk sorga!”
Liza menyarankan untuk menangkal hoaks secara sederhana dapat dilakukan dengan tiga langkah:
- Copy paste (copas) informasi yang dicurigai hoaks, telusuri melalui internat, kemudian capture lalu bagikan hasil screenshoot yang menerangkan bahwa informasi tersebut hoaks.
- Jika hoaks yang lebih kompleks kontennya, maka perlu lebih banyak upaya untuk mencari tahu informasi tersebut, seperti mencari tahu atau bertanya kepada sumber berita, mengkonfirmasi kepada ahlinya, dan bisa juga dengan membaca artikel atau jurnal terkait yang terpercaya.
- Kalau merasa masih resah gara-gara hoaks, jangan diam saja, adukan. Ini bisa mulai dari menggunakan fitur Report Status di media sosial atau dengan mengirimkan email ke aduankonten@mail.kominfo.go.id
Semoga bermanfaat
_______________________________
Sumber
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b6bc8f2d737f/pasal-untuk-menjerat-penyebar-ihoax-i/
http://kabarkampus.com/2019/06/nabi-adam-dan-sejarah-hoax/
http://romeltea.com/pengertian-hoax-dan-ciri-ciriny
https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/pengertian-hoax-dan-ciri-cirinya-41
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/theosembiring/59b7a51d4548027ff535adf3/hoax-menurut-hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar